Minggu, 29 Desember 2013

Kasus Penyadapan Pejabat Tinggi Indonesia oleh Agen Intelejen Australia

Dunia intelejen dengan berbagai kisah heroiknya, bukan hal asing bagi masyarakat kita. Berbagai roman tingkat tinggi, rumit, dan berbasis teknologi canggih, hadir di televisi rumah tangga hampir setiap saat. Ditonton oleh bapak dan ibu rumahtangga, bahkan anak-anak di rumah.

Dalam pergaulan global yang semakin mengecil karena perkembangan teknologi, kasus sadap-menyadap akan terus terjadi. Semuanya bergantung hanya pada kepentingan atau interest yang terus berkembang dinamis. Dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat dan dapat diproduksi ataupun dibeli oleh siapapun, hampir tidak ada zona aman operasi inteligen khususnya penyadapan.

Pada Juni 2000 koran terbesar dan paling dipercaya di Amerika Serikat, Washington Post, secara terbuka memberitakan informasi penyadapan jaringan komunikasi Gedung Putih dan CIA. Tuduhan diarahkan pada perusahaan telekomunikasi A Ltd, yang dicurigai memiliki afiliasi dengan dinas rahasia Israel, MOSSAD.

Skandal penyadapan terhadap beberapa elit politik Inggris oleh News of the World (NOW) milik raja media Rupert Murdoch yang menghebohkan dunia, membuktikan bahwa siapapun rentan terhadap kasus penyadapan. Karena teknologi memang menembus batas dan waktu.

Namun kasus penyadapan Presiden SBY, Ibu Negara dan beberapa pejabat tinggi Indonesia lainnya oleh Australia tahun 1999, jelas melanggar moral, etika, hukum dan HAM. Apalagi penyadapan diarahkan langsung secara personal. Sangatlah bersifat pribadi dan destruktif. Amatlah pantas jika rakyat Indonesia geram dan marah.

Lalu seberapa besar kerugian Indonesia jika Presiden SBY ''memutuskan'' beberapa bentuk perjanjian bilateral dengan Australia? Data memperlihatkan, sangatlah kecil ketergantungan Indonesia kepada Australia.

KADIN Indonesia mencatat, tahun 2010 neraca perdagangan kedua negara memperlihatkan Indonesia surplus. Dari total 8,3 miliar dolar AS nilai perdagangan bilateral, Indonesia surplus 8,47% atau 4,2 miliar dolar. Indonsia mengekspor emas, peralatan tv dan produk kayu. Sementara impor dari Australia adalah gandum, hasil peternakan dan kapas. Selain perdagangan, perjanjian bilateral yang sensitif lainnya adalah kerjasama militer. Pada 12 November 2012 di Cilangkap Jakarta, Panglima TNI saat itu, Laksamana Agus Suhartono menandatangani nota kesepahaman dengan Panglima Angkatan Bersenjata Australia (ADF) Jenderal David J. Hurley. Meliputi kerjasama di bidang inteligen, operasi dan latihan, pendidikan, program khusus dan logistik. Juga banyak perjanjian lainnya, termasuk penanganan masalah pengungsi atau pencari suaka. Karena alasan geografis dan saling percaya, Australia sangat membutuhkan Indonesia sebagai kawasan penyanggah dari serbuan para pencari suaka.
Merujuk pada beberapa aspek utama diatas, ketergantungan Indonesia sebagai negara berdaulat terhadap Australia sangatlah minimal. Secara politis, sebagai pendiri ASEAN, Indonesia jauh lebih dihormati di Asia Tenggara dan Asia dibanding Australia.

Sebagai ''jembatan'' Timur-Barat, Utara-Selatan, Atlantik-Pasifik, posisi geopolitik Indonesia jauh lebih strategis dibanding Australia. Amerika Serikat dan Uni Eropa pun ''tidak akan pernah berani'' menyepelekan Indonesia, untuk menjaga keseimbangan kawasan. Belum lagi posisi Rusia dan China, yang memiliki sejarah persahabatan panjang dengan Indonesia.

Penyadapan oleh intelijen Australia terhadap Presiden SBY dan Ibu Ani Yudhoyono kembali ramai setelah media Australia mengaitkan tindakan itu dengan bocoran kawat Diplomatik AS. Namun, ada satu satu hal yang luput dari perhatian publik mengenai alasan sesungguhnya di balik penyadapan itu, yakni rencana pembelian kapal selam dari Rusia. Itu terlihat dari bukan hanya Ibu Ani dan SBY yang disadap, tetapi juga penjabat lain seperti Menteri BUMN Sofyan Djalil dan Wapres Jusuf Kalla.

Sebetulnya itulah alasan mengapa ibu Ani disadap. Memang, ia disadap karena Ibu Ani adalah orang yang mengendalikan kebijakan SBY. Namun alasan yang paling mendasar adalah pembelian kapal selam Rusia, ujar sumber Inilah.com, Minggu (15/12/2013).

Sumber tersebut menjelaskan, pada 17 Oktober 2007, Kedubes AS di Jakarta mengirim kawat diplomatik ke Washington DC yang isinya mengulas tentang peran Ibu Ani terhadap kebijakan SBY. Pada saat bersamaan Indonesia secara rahasia telah bersepakat dengan Rusia mengenai pembelian kapal selam. Proses pembelian itu terus berlangsung hingga 2009. Kesepakatan itu ditandantangani oleh SBY dengan Presiden Rusia Vladimir Putin pada 2006.

Sesuai kawat diplomatik yang dibocorkan Wikileaks, diplomat AS di Jakarta mengabarkan kepada Washington bahwa Ibu Ani memiliki banyak peran dalam pembuatan kebijakan SBY. Bahkan, Ibu Ani disebut sebagai orang yang paling mempengaruhi SBY.

Melalui perjanjian dengan Rusia itu, Indonesia akan membeli kapal selam Kelas Kilo atau kapal selam tercanggih yang memilki teknologi paling maju di bidangnya. Namun, di tengah jalan pembelian kapal selam tersebut dibatalkan. Ketika itu SBY memberi alasan bahwa Indonesia terkena krisis ekonomi.

Tetapi sesungguhnya, pembelian itu dibatalkan karena ada orang yang mengatasnamakan Ibu Ani meminta fee dari pembelian itu. SBY langsung membatalkannya karena takut hal ini menjadi isu korupsi, jelas sumber tadi.

Menurutnya, secara teknis Ibu Ani memang terlihat dalam pembelian kapal selam itu. Paling tidak, ia secara aktif mempengaruhi keputusan SBY. Hal itu terlihat dari adanya orang yang mengatasnamakan Ibu Ani meminta fee atas pembelian tersebut.

Sejak saat itulah intelijen Australia rajin menyadap Ibu Ani. Apalagi, belakangan ketahuan setelah batal membeli kapal selam dari Rusia, pemerintah dikabarkan mengalihkannya ke Jerman atau Korea Selatan, tuturnya.

Kini, Indonesia mengganti rencana pembelian dari Rusia itu dengan kapal U-209 dari Korea Selatan berdasarkan lisensi dari Jerman. Sejak batal dari Rusia itulah kemudian Ibu Ani menjadi orang yang layak dimata-matai.

Selain Ibu Ani, pejabat pemerintah yang disadap Australia adalah Wapres Jusuf Kalla dan Sofyan Djalil yang ketika itu menjabat Menteri BUMN serta Sri Mulyani sebagai Menko Perekonomian. Sofyan Djalil disadap karena ia terkait pengadaan dana untuk pembelian kapal selam itu. JK disadap karena ia diserahi tugas oleh SBY untuk fokus pada BUMN, jelas sumber tadi.

Kesimpulannya adalah, kasus penyadapan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, oleh negara lain, adalah tindakan penistaan. Klarifikasi dan penjelasan resmi dari pemerintah Australia, sangatlah dibutuhkan.
Karena selama ini, sebagai mitra, tetangga dan sahabat, Australia seakan-akan tidaklah pernah tulus bergaul dengan bangsa Asia. Australia lebih merasa sebagai orang Eropa di perantauan, ketimbang melihat fakta bahwa mereka adalah pendatang bagi bangsa Asia.


Sumber:
http://indonesiacompanynews.wordpress.com/category/intelijen-terorisme/

http://m.tribunnews.com/tribunners/2013/11/25/kasus-penyadapan-dan-kepentingan-indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar