Dunia
intelejen dengan berbagai kisah heroiknya, bukan hal asing bagi masyarakat
kita. Berbagai roman tingkat tinggi, rumit, dan berbasis teknologi canggih,
hadir di televisi rumah tangga hampir setiap saat. Ditonton oleh bapak dan ibu
rumahtangga, bahkan anak-anak di rumah.
Dalam
pergaulan global yang semakin mengecil karena perkembangan teknologi, kasus
sadap-menyadap akan terus terjadi. Semuanya bergantung hanya pada kepentingan
atau interest yang terus berkembang dinamis. Dengan perkembangan teknologi yang
begitu pesat dan dapat diproduksi ataupun dibeli oleh siapapun, hampir tidak
ada zona aman operasi inteligen khususnya penyadapan.
Pada
Juni 2000 koran terbesar dan paling dipercaya di Amerika Serikat, Washington
Post, secara terbuka memberitakan informasi penyadapan jaringan komunikasi
Gedung Putih dan CIA. Tuduhan diarahkan pada perusahaan telekomunikasi A Ltd,
yang dicurigai memiliki afiliasi dengan dinas rahasia Israel, MOSSAD.
Skandal
penyadapan terhadap beberapa elit politik Inggris oleh News of the World (NOW)
milik raja media Rupert Murdoch yang menghebohkan dunia, membuktikan bahwa
siapapun rentan terhadap kasus penyadapan. Karena teknologi memang menembus
batas dan waktu.
Namun
kasus penyadapan Presiden SBY, Ibu Negara dan beberapa pejabat tinggi Indonesia
lainnya oleh Australia tahun 1999, jelas melanggar moral, etika, hukum dan HAM.
Apalagi penyadapan diarahkan langsung secara personal. Sangatlah bersifat
pribadi dan destruktif. Amatlah pantas jika rakyat Indonesia geram dan marah.
Lalu
seberapa besar kerugian Indonesia jika Presiden SBY ''memutuskan'' beberapa
bentuk perjanjian bilateral dengan Australia? Data memperlihatkan, sangatlah
kecil ketergantungan Indonesia kepada Australia.
KADIN
Indonesia mencatat, tahun 2010 neraca perdagangan kedua negara memperlihatkan
Indonesia surplus. Dari total 8,3 miliar dolar AS nilai perdagangan bilateral,
Indonesia surplus 8,47% atau 4,2 miliar dolar. Indonsia mengekspor emas, peralatan
tv dan produk kayu. Sementara impor dari Australia adalah gandum, hasil
peternakan dan kapas. Selain perdagangan, perjanjian bilateral yang sensitif
lainnya adalah kerjasama militer. Pada 12 November 2012 di Cilangkap Jakarta,
Panglima TNI saat itu, Laksamana Agus Suhartono menandatangani nota kesepahaman
dengan Panglima Angkatan Bersenjata Australia (ADF) Jenderal David J. Hurley.
Meliputi kerjasama di bidang inteligen, operasi dan latihan, pendidikan,
program khusus dan logistik. Juga banyak perjanjian lainnya, termasuk
penanganan masalah pengungsi atau pencari suaka. Karena alasan geografis dan
saling percaya, Australia sangat membutuhkan Indonesia sebagai kawasan
penyanggah dari serbuan para pencari suaka.
Merujuk
pada beberapa aspek utama diatas, ketergantungan Indonesia sebagai negara
berdaulat terhadap Australia sangatlah minimal. Secara politis, sebagai pendiri
ASEAN, Indonesia jauh lebih dihormati di Asia Tenggara dan Asia dibanding
Australia.
Sebagai
''jembatan'' Timur-Barat, Utara-Selatan, Atlantik-Pasifik, posisi geopolitik
Indonesia jauh lebih strategis dibanding Australia. Amerika Serikat dan Uni
Eropa pun ''tidak akan pernah berani'' menyepelekan Indonesia, untuk menjaga
keseimbangan kawasan. Belum lagi posisi Rusia dan China, yang memiliki sejarah
persahabatan panjang dengan Indonesia.
Penyadapan
oleh intelijen Australia terhadap Presiden SBY dan Ibu Ani Yudhoyono kembali
ramai setelah media Australia mengaitkan tindakan itu dengan bocoran kawat
Diplomatik AS. Namun, ada satu satu hal yang luput dari perhatian publik
mengenai alasan sesungguhnya di balik penyadapan itu, yakni rencana pembelian
kapal selam dari Rusia. Itu terlihat dari bukan hanya Ibu Ani dan SBY yang
disadap, tetapi juga penjabat lain seperti Menteri BUMN Sofyan Djalil dan
Wapres Jusuf Kalla.
Sebetulnya
itulah alasan mengapa ibu Ani disadap. Memang, ia disadap karena Ibu Ani adalah
orang yang mengendalikan kebijakan SBY. Namun alasan yang paling mendasar
adalah pembelian kapal selam Rusia, ujar sumber Inilah.com, Minggu
(15/12/2013).
Sumber
tersebut menjelaskan, pada 17 Oktober 2007, Kedubes AS di Jakarta mengirim
kawat diplomatik ke Washington DC yang isinya mengulas tentang peran Ibu Ani
terhadap kebijakan SBY. Pada saat bersamaan Indonesia secara rahasia telah
bersepakat dengan Rusia mengenai pembelian kapal selam. Proses pembelian itu
terus berlangsung hingga 2009. Kesepakatan itu ditandantangani oleh SBY dengan
Presiden Rusia Vladimir Putin pada 2006.
Sesuai
kawat diplomatik yang dibocorkan Wikileaks, diplomat AS di Jakarta mengabarkan
kepada Washington bahwa Ibu Ani memiliki banyak peran dalam pembuatan kebijakan
SBY. Bahkan, Ibu Ani disebut sebagai orang yang paling mempengaruhi SBY.
Melalui
perjanjian dengan Rusia itu, Indonesia akan membeli kapal selam Kelas Kilo atau
kapal selam tercanggih yang memilki teknologi paling maju di bidangnya. Namun,
di tengah jalan pembelian kapal selam tersebut dibatalkan. Ketika itu SBY
memberi alasan bahwa Indonesia terkena krisis ekonomi.
Tetapi
sesungguhnya, pembelian itu dibatalkan karena ada orang yang mengatasnamakan
Ibu Ani meminta fee dari pembelian itu. SBY langsung membatalkannya karena
takut hal ini menjadi isu korupsi, jelas sumber tadi.
Menurutnya,
secara teknis Ibu Ani memang terlihat dalam pembelian kapal selam itu. Paling
tidak, ia secara aktif mempengaruhi keputusan SBY. Hal itu terlihat dari adanya
orang yang mengatasnamakan Ibu Ani meminta fee atas pembelian tersebut.
Sejak
saat itulah intelijen Australia rajin menyadap Ibu Ani. Apalagi, belakangan
ketahuan setelah batal membeli kapal selam dari Rusia, pemerintah dikabarkan
mengalihkannya ke Jerman atau Korea Selatan, tuturnya.
Kini,
Indonesia mengganti rencana pembelian dari Rusia itu dengan kapal U-209 dari
Korea Selatan berdasarkan lisensi dari Jerman. Sejak batal dari Rusia itulah
kemudian Ibu Ani menjadi orang yang layak dimata-matai.
Selain
Ibu Ani, pejabat pemerintah yang disadap Australia adalah Wapres Jusuf Kalla
dan Sofyan Djalil yang ketika itu menjabat Menteri BUMN serta Sri Mulyani
sebagai Menko Perekonomian. Sofyan Djalil disadap karena ia terkait pengadaan
dana untuk pembelian kapal selam itu. JK disadap karena ia diserahi tugas oleh
SBY untuk fokus pada BUMN, jelas sumber tadi.
Kesimpulannya
adalah, kasus penyadapan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, oleh negara
lain, adalah tindakan penistaan. Klarifikasi dan penjelasan resmi dari
pemerintah Australia, sangatlah dibutuhkan.
Karena
selama ini, sebagai mitra, tetangga dan sahabat, Australia seakan-akan tidaklah
pernah tulus bergaul dengan bangsa Asia. Australia lebih merasa sebagai orang
Eropa di perantauan, ketimbang melihat fakta bahwa mereka adalah pendatang bagi
bangsa Asia.
Sumber:
http://indonesiacompanynews.wordpress.com/category/intelijen-terorisme/
http://m.tribunnews.com/tribunners/2013/11/25/kasus-penyadapan-dan-kepentingan-indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar