Sabtu, 10 Maret 2012

penari yang tak dapat menari. atlet yang tidak berkembang.

     Ada seorang penari muda, dia sangat menyukai menari sejak kecil. Tapi saat SMA penari ini memfokuskan diri untuk menggeluti tari tradisional. Ia mengikuti ekskul tari di sekolahnya, dia berlatih amat keras agar dapat terpilih sebagai peserta dalam berbagai lomba maupun tampil di acara sekolah. Saat saat itu dia mengalami kesulitan maupun hambatan yang sangat berat, mulai dari bentroknya jadwal latihan dengan les, bentrok jadwal lomba dengan ujian kenaikan tingkat beladiri, dan hambatan lainnya seperti dana maupun restu orang tua.
     Saat ini sang penari telah lulus dari SMA-nya, dia masuk ke salah satu Universitas Swasta di Depok. Seperti yang ia pikirkan sebelumnya, pasti tidak ada Unit Kegiatan Mahasiswa berupa tari tradisional. Meskipun begitu, ia tidak berhenti berjuang untuk tetap menari. Ia mencari informasi tentang sanggar tari di daerah Depok dan ia menemukannya. Memang terlalu terlambat jika dia mulai menari di sanggar saat usianya menjelang 19 tahun, tapi tidak ada kata terlambat untuk belajar bukan?
     Segala sesuatu telah ia siapkan, mulai dari biaya pendaftaran sampai pengaturan jadwal kuliah. Namun saat ia membicarakannya pada kedua orangtuanya, Ayahnya tidak setuju. Mungkin beliau berpikir menari akan mengganggu konsentrasi si penari dalam belajar.
    Hatinya sedih, remuk, hancur. Setelah ia tidak lagi dapat melakukan hobi Taekwondo nya sekarang kegemarannya yang lain pun dilarang oleh kedua orang tuanya. Sang penari bagai kehilangan arah. Ia muak terus menerus diatur seperti boneka oleh orangtuanya. Ia marah, ya dia sangat marah. Marah pada kedua orangtuanya yang tak pernah mendukung nya atas apapun. Marah pada diri sendiri karena terlalu lemah dan selalu diatur oleh orangtuanya seperti boneka kayu.
    Sang penari sadar, ia tidak pernah melakukan suatu keputusan apapun untuk hidupnya. Sekarang kuliahnya pun terbengkalai, tidak ada motivasi lagi dalam dirinya untuk kuliah. Kuliah Akuntansi tidak sesuai dengan hatinya! Kuliah sekarang hanya sebagai suatu kewajiban, ia tidak senang. Saya hanya berharap sang penari dapat melanjutkan hidupnya. Walau ia terpaksa. Walau ia terkekang.

Walau ia tidak dapat lagi menari...