Rabu, 10 Desember 2014

Tulisan Etika Profesi:Manajemen Laba

TULISAN MANAJEMEN LABA
Pengertian Manajemen Laba 
Para pakar kurang seragam dalam mendefinisikan manajeman laba.
Mulford dan Comiskey (2010) mendefinisikan manajemen laba sebagai manipulasi akuntansi dengan tujuan menciptakan kinerja perusahaan agar terkesan lebih baik dari yang sebenarnya.
Dechow (1996) dalam Widyaningdyah (2001) mendefinisikan manajemen laba sebagai manipulasi laba, baik di dalam maupun di luar batas prinsip-prinsip akuntansi yang berterima umum (PABU).
Levitt (1998) dalam Hery (2009) mengartikan manajemen laba sebagai trik akuntansi dimana fleksibilitas aturan dalam penyusunan laporan keuangan dimanfaatkan oleh manajer untuk memenuhi target laba.
Healy (1999) dalam Hery (2009) menyebut manajemen laba sebagai kreativitas manajemen dalam penyusunan laporan keuangan dan mengatur transaksi untuk mengubah laporan keuangan dengan tujuan memberi kesan tertentu untuk memengaruhi tindakan para pemakai laporan keuangan.
Scott (2003) dalam Dumbi (2010) mendefinisikan manajemen laba sebagai pilihan yang dilakukan oleh manajer dalam menentukan kebijakan akuntansi untuk mencapai beberapa tujuan tertentu.
Riahi dan Belkaoui(2007) mendefinisikan manajemen laba sebagai penggunaan manajemen akrual dengan tujuan memeroleh keuntungan pribadi.
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh para pakar tersebut saya mendefinisikan ulang manajemen laba sebagai kegiatan manipulasi laba yang akan disajikan dalam laporan keuangan yang dilakukan oleh manajer dengan tujuan tertentu dalam batasan PABU maupun diluar batasan PABU.
Faktor-faktor Penyebab Munculnya Manajemen Laba
Masalah Keagenan
Jensen dan Meckling (1976) dalam Dumbi (2010) mendefinisikan hubungan keagenan sebagai suatu kontrak di mana satu orang atau lebih, yang kemudian disebut principal, menyewa serta memberikan wewenang kepada satu orang yang lain atau lebih, yang disebut kemudian agentuntuk menjalankan tugas dan mengambil keputusan bagi kepentingan principal. Dalam hal ini, para pemegang saham sebagai principal dan direksi atau manajer sebagai agent merupakan salah satu hubungan keagenan.
Principal mengadakan kontrak dengan agent dalam upaya memaksimumkan kesejahteraannya dengan harapan tingkat profitabilitas yang selalu meningkat, sedangkan agent secara moral bertanggungjawab memaksimumkan kesejahteraan principal. Namun di sisi lain, agent melakukan kontrak dengan principal juga dalam upaya memaksimumkan utilitasnya sendiri seperti memeroleh investasi, pinjaman, kompensasi, bonus, dan fasilitas lainnya.
Perbedaan kepentingan (conflict of interests) inilah yang kemudian menjadi sebab manajer sebagaiagent mungkin tidak selalu melakukan tindakan-tindakan untuk memaksimumkan kesejahteraanprincipal, dalam hal ini pemegang saham, dan justru lebih mendahulukan kepentingannya untuk memaksimumkan utilitasnya. Manajer terkadang juga lebih menginginkan untuk memaksimumkan ukuran atau skala perusahaan daripada memaksimumkan kesejahteraan pemegang saham.
Menurut Scott (2009) dalam Dumbi (2010), terdapat dua jenis kontrak yang memiliki dampak pada teori akuntansi keuangan. Selain kontrak kerja, ada pula kontrak pinjaman/utang. Kontrak kerja dilakukan antara pemegang saham dengan manajer, sedangkan kontrak pinjaman dilakukan antara manajer dengan pemberi pinjaman atau kreditor. Salah satu pihak disebut principalsedangkan pihak lainnya disebut agent. Dalam kontrak kerja, yang disebut sebagai principal adalah pemegang saham sedangkan manajer adalah agent. Sementara dalam kontrak pinjaman, pemberi pinjaman adalah principal dan manajer adalah agent.
Kedua jenis kontrak tersebut seringkali dipengaruhi oleh jumlah laba yang dilaporkan perusahaan. Dalam kontrak kerja, bonus manajer sering didasarkan pada laba bersih yang dilaporkan. Program bonus yang didasarkan pada laba bersih yang dilaporkan, mungkin akan mendorong manajer untuk menerapkan kebijakan-kebijakan dalam upaya memaksimumkan laba sekaligus bonus mereka. Kreditor mempunyai klaim terhadap laba perusahaan untuk pembayaran bunga dan pokok pinjaman/utang, mereka juga mempunyai klaim terhadap aset perusahaan apabila perusahaan dibubarkan bersasarkan perjanjian utang. Manajer perusahaan yang terikat perjanjian utang juga mungkin melakukan praktek manajemen laba untuk menghindari pelanggaran perjanjian utang tersebut.
Asimetri Informasi
Manajer perusahaan merupakan pihak internal perusahaan yang jelas lebih banyak memiliki dan lebih cepat mengetahui informasi yang valid dibandingkan pihak eksternal perusahaan seperti investor dan kreditor. Hal ini disebabkan pihak eksternal tidak mungkin mengawasi tindakan manajer setiap saat. Perbedaan jumlah dan validitas informasi yang dimiliki pihak satu dengan pihak yang lain ini yang dapat menyebabkan timbulnya asimetri informasi.
Kondisi tersebut memberi peluang kepada manajer perusahaan untuk menggunakan informasi yang diketahuinya dalam rangka mengatur atau merekayasa laba yang dilaporkan, baik dalam upaya memaksimumkan kemakmuran maupun dalam upaya menyampaikan sinyal mengenai prospek perusahaan kepada investor dan kreditor.
Manajer sebagai pengelola perusahaan yang lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan para pihak yang berkepentingan lainnya berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan para pihak yang berkepentingan tersebut. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan. Namun, informasi yang disampaikan terkadang diterima tidak sesuai dengan kondisi perusahaan sebenarnya. Kondisi ini dikenal sebagai informasi yang tidak simetris atau asimetri informasi. Asimetri informasi terjadi karena manajer lebih superior dalam menguasai informasi dibanding pihak lain seperti pemilik atau pemegang saham dan pemberi pinjaman.
Asimetri informasi antara manajemen dengan pihak lain tersebut memberikan kesempatan kepada manajer untuk bertindak oportunis, yaitu memperoleh keuntungan pribadi. Dalam hal pelaporan keuangan, manajer dapat melakukan praktik manajemen laba (earnings management) untuk memberikan sinyal yang diharapkan tetapi tidak sesuai dengan kenyataan kepada pihak lain mengenai kinerja ekonomi perusahaan.
Dua faktor tersebut, masalah keagenan dan asimetri informasi menjadi latar belakang munculnya teori dan dugaan tentang adanya praktik-praktik manajemen laba. Manajer sebagai pihak internal perusahaan memiliki kepentingan yang berbeda dengan para pihak eksternal perusahaan seperti investor, kreditor, pemerintah, maupun pihak eksternal lainnya. Di samping itu, manajer sebagai pihak internal perusahaan memiliki lebih banyak informasi yang valid tentang perusahaan yang mereka kelola daripada para pihak eksternal perusahaan. Dua kondisi ini sangat mendukung dilakukannya praktik manajemen laba. Jika masalah keagenan dapat memunculkan niat untuk melakukan manajemen laba, maka asimetri ekonomi dapat memberi peluang atau kesempatan untuk dilakukannya manajemen laba. Manajer akan menggunakan kelebihan informasi yang mereka miliki, misalnya dengan menyembunyikan atau memanipulasi sebagian informasi tersebut dalam rangka memenuhi kepentingan manajer yang mungkin suatu saat dalam suatu atau beberapa hal akan saling bertentangan dengan kepentingan pihak eksternal yang memiliki lebih sedikit informasi yang valid.
Motivasi-motivasi dalam Manajemen Laba 
Dua kondisi yang dapat menjadi penyebab utama dilakukannya manajemen laba yang telah diuraikan di atas memberikan peluang bagi manajer untuk memanipulasi informasi keuangan, terutama apabila suatu saat ada kepentingan yang hendak dan perlu dilindungi, baik untuk kepentingan pribadi manajer ataupun untuk kepentingan keberlangsungan perusahaan.
Faktor-faktor yang mendorong terjadinya manajemen laba tersebut telah banyak diuraikan oleh para pakar dan telah banyak dilakukan penelitian empiris untuk mendukung adanya korelasi antara faktor-faktor pendorong tersebut terhadap praktek manajemen laba, baik di luar negeri maupun di Indonesia sendiri. Faktor-faktor pendorong tersebut penulis seleksi, ringkas, dan gabungkan antara lain sebagai berikut:
Bonus
Pemberian bonus seringkali dikaitkan dengan tingkat laba bersih yang dihasilkan pada tahun yang bersangkutan. Manajer akan berusaha mengatur laba bersih sedemikian rupa sehingga dapat memaksimalkan bonusnya. Manajer yang memiliki informasi atas laba bersih  perusahaan yang sebenarnya akan bertindak oportunis untuk melakukan manajemen laba dengan memaksimalkan laba saat ini ataupun menyimpannya untuk tahun-tahun yang akan datang.
Dalam pemberian bonus berdasarkan atas laba ini, dikenal dua istilah, bogey (batas bawah) yang terkadang juga disebut floor dan cap (batas atas). Bogey adalah target laba minimum yang menjadi syarat agar manajer dapat memeroleh bonus atas kinerjanya. Besarnya bonus yang diperoleh tersebut akan meningkat secara proporsional seiring dengan meningkatnya laba tahun yang bersangkutan, selama laba tersebut berada dalam batasan atau di antara bogey dan cap. Sedangkan cap adalah target laba maksimum dimana jika laba tahun yang bersangkutan melebihi target laba ini, manajer tidak akan mendapat tambahan bonus secara proporsional atas selisih laba dengan target laba ini.
Teori dan hasil penelitian yang telah dilakukan menjelaskan bahwa para manajer akan cenderung memaksimalkan bonusnya dengan memanipulasi data keuangan dalam rangka meningkatkan laba, misalnya dengan memindahkan laba periode mendatang ke periode saat ini, selama laba tersebut dalam batasan bogey dan cap. Jika laba (sebelum direkayasa) berada di atas cap, maka manajer akan cenderung menurunkan laba agar dapat menyimpannya dan menggunakannya untuk memeroleh tambahan bonus pada tahun-tahun berikutnya. Jika laba (sebelum direkayasa) berada di bawah bogey, maka ada dua kemungkinan manipulasi yang dilakukan manajer. Pertama, saat laba (sebelum direkayasa) berada tidak terlalu jauh di bawah bogey, maka manajer mungkin akan meningkatkan laba untuk memeroleh bonus. Namun, jika laba (sebelum direkayasa) berada terlalu jauh di bawah bogey, maka manajer akan cenderung menurunkan laba agar dapat menyimpannya untuk memeroleh tambahan bonus pada tahun-tahun berikutnya, selama laba yang dilaporkan masih positif. Jika laba (sebelum direkayasa) berada di antara bogey dan cap, manajer akan cenderung meningkatkan laba untuk mengoptimalkan bonus yang mereka terima.
Perjanjian Utang
Janes (2003) dalam Herawati (2007) menjelaskan perjanjian utang dapat dikelompokkan ke dalam dua bentuk, sebagai perjanjian negatif dan perjanjian positif . Perjanjian negatif umumnya menunjukkan aktivitas tertentu yang mengakibatkan substitusi aset atau masalah pembayaran kembali. Contoh perjanjian utang negatif adalah larangan terhadap merger, batasan peminjaman tambahan, dan batasan pembayaran dividen. Perjanjian positif mensyaratkan peminjam melakukan tindakan tertentu, seperti menjaminkan aset atau memenuhi target rasio-rasio keuangan tertentu yang mengindikasikan kesehatan keuangan. Contoh umum perjanjian utang positif adalah tingkat rasio currentleverage, probabilitas dan net worth minimal atau maksimum. Perjanjian utang baik bentuk negatif maupun positif tersebut dapat digunakan sebagai upaya untuk membatasi konflik kepentingan yang potensial terjadi antara kreditor dengan para pemegang saham maupun manajemen perusahaan.
Pelanggaran atas perjanjian utang secara potensial menghadapi berbagai pinalti keuangan, seperti kemungkinan percepatan jatuh tempo utang, peningkatan dalam tingkat bunga, penyerahan jaminan, ataupun negosiasi ulang masa utang. Dalam rangka menghindari risiko berbagai pinalti tersebut, manajer akan cenderung menaikkan laba bersih untuk mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami pelanggaran atas perjanjian utang. Semakin dekat suatu perusahaan ke pelanggaran hutang, manajemen akan cenderung memilih prosedur akuntansi yang dapat memindahkan laba periode mendatang ke periode berjalan, yang bertujuan untuk mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami pelanggaran atas perjanjian utang.
Biaya Politis
Pemerintah menetapkan besarnya pajak berdasarkan laba perusahaan secara progresif. Hal ini menyebabkan pajak sebagai salah satu alasan perusahaan melakukan manajemen laba, yaitu dengan menurunkan laba bersih yang dilaporkan untuk meminimalkan pajak yang harus dibayarkan perusahaan kepada pemerintah.
Selain motivasi pajak, motivasi politis lain mungkin menjadi sebab perusahaan melakukan manajemen laba dengan menurunkan laba bersih yang dilaporkan. Hal ini dilakukan sebagai upaya agar perusahaan tidak terlihat mencolok bagi masyarakat ataupun pemerintah sebagai regulator sehingga mendorong munculnya peraturan yang lebih ketat. Motivasi ini terutama terjadi pada perusahaan-perusahaan besar pada industri strategis.
Penawaran Saham Perdana (IPO) dan Penawaran Saham Musiman (SEO)
Pada penawaran saham perdana dan penawaran saham musiman, laporan keuangan merupakan sumber informasi utama yang penting bagi calon investor. Manajer perusahaan yang go public akan cenderung melakukan manajemen laba untuk memperoleh harga yang lebih tinggi atas saham perdananya dengan harapan mendapatkan respons positif dari investor terhadap peramalan laba sebagai sebuah sinyal dari nilai perusahaan, begitu pula dalam hal penawaran saham musiman.
Harga Saham
Sifat dasar manusia adalah menyukai keuntungan dan menghindari risiko. Perusahaan yang dipandang investor memiliki pendapatan yang tinggi cenderung akan mengalami kenaikan pada harga sahamnya. Selain itu, investor juga akan memberi harga yang lebih tinggi atas saham perusahaan yang labanya tidak terlalu bergejolak yang menandakan kecilnya tingkat risiko. Bagi perusahaan, harga saham yang tinggi dapat meningkatkan nilai pasarnya, sedangkan bagi manajer yang memiliki saham perusahaan, harga saham yang tinggi akan meningkatkan kekayaan pribadinya. Selain itu, untuk menghindari penurunan harga saham secara tajam, laba mungkin akan disesuaikan menurut ramalan atau prediksi di pasar modal. Hal-hal tersebut juga dapat menjadi motivasi yang mendorong manajer melakukan manajemen laba.
Pergantian CEO (Chief Executive Officer)
Banyak motivasi yang muncul berkaitan dengan CEO. CEO yang mendekati masa pensiun akan berusaha meningkatkan bonusnya dengan meningkatkan laba. CEO yang kurang berhasil memperbaiki kinerjanya, berusaha menghindari pemecatannya dengan meningkatkan laba. CEO baru untuk menunjukkan kesalahan dari CEO sebelumnya dan membuka peluang agar laba periode mendatang meningkat, membebankan biaya periode mendatang pada periode berjalan yang otomatis akan menurunkan laba periode berjalan. Hal-hal tersebut pun dapat menjadi motivasi manajer untuk melakukan praktik-praktik manajemen laba.
Pola-pola Manajemen Laba
Scott (2000) dalam Jaryanto (2008) membagi manajemen laba yang mungkin dilakukan oleh para menejer perusahaan ke dalam empat jenis pola manajemen laba sebagai berikut:
Cuci Bersih (Taking a Bath)
Pola ini terjadinya pada periode sulit, kondisi buruk yang tidak menguntungkan dan tidak dapat dihindari lagi pada periode tersebut, ataupun pada saat terjadi reorganisasi, termasuk pengangkatan CEO baru. Manajer melaporkan kerugian, mungkin dalam jumlah yang besar, sebagai akibat dari penghapusan aktiva dan/atau pembebanan biaya-biaya masa depan sekaligus pada periode tersebut dengan harapan laba pada periode-periode mendatang dapat meningkat karena berkurangnya beban periode mendatang.
Menurunkan Laba (Income Minimization)
Pola ini dilakukan sebagai alasan politis pada periode laba yang tinggi dengan cara seperti pada pola taking a bath, yaitu mempercepat penghapusan atas barang modal dan aktiva tak berwujud, biaya iklan dan pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan, hasil akuntansi untuk biaya eksplorasi, dan mengakui pengeluaran-pengeluaran lain sebagai biaya periode tersebut. Hal ini dilakukan pada saat profitabilitas tinggi dengan maksud agar tidak mendapat perhatian secara politis sekaligus sebagai upaya menyimpan laba sehingga jika laba periode mendatang mengalami penurunan drastis dapat diatasi dengan mengambil simpanan laba periode berjalan.
Menaikkan Laba (Income Maximization)
Pola ini dilakukan pada saat laba mengalami penurunan. Kebalikan dari income minimization,income maximization dilakukan dengan cara mengambil simpanan laba periode sebelumnya ataupun menarik laba periode yang akan datang, misalnya dengan menunda pembebanan biaya. Pola ini dilakukan atas dasar motivasi bonus, motivasi penghindaran pelanggaran perjanjian utang, pada saat penawaran saham perdana dan musiman, ataupun untuk menghindari turunnya harga saham secara drastis.
Perataan Laba (Income Smoothing)
Income smoothing dilakukan dengan meratakan laba antar periode yang dilaporkan untuk tujuan pelaporan eksternal, terutama bagi investor yang pada umumnya lebih menyukai laba yang relatif stabil. Income smoothing bisa dikatakan pola perpaduan antara income minimization denganincome maximization antar periode, dimana pada periode laba yang tinggi, laba akan disimpan untuk digunakan pada periode laba yang rendah.
Teknik-teknik Manajemen Laba 
Secara sederhana, laba merupakan selisih lebih antara pendapatan (termasuk keuntungan) dengan beban (termasuk kerugian). Maka, secara umum, teknik untuk merekayasa laba dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu meningkatkan (atau menurunkan) pendapatan maupun menurunkan (atau meningkatkan) beban, atau gabungan dari keduanya.
Teknik-teknik yang dapat dilakukan dalam manajemen laba seperti diuraikan Mulford dan Comiskey (2010) antara lain sebagai berikut:
Tabel 2.1 Teknik-teknik Manajemen Laba
No.
Teknik
Tujuan
1.
Mengubah metode depresiasi.
Perusahaan dapat mengurangi beban depresiasi untuk menaikkan laba periode berjalan, misalnya dengan mengubah metode saldo menurun berganda ke metode garis lurus.
2.
Mengubah umur harta.
Perusahaan dapat memperkecil beban depresiasi dan amortisasi untuk menaikkan laba periode berjalan dengan memperpanjang umur harta.
3.
Mengubah nilai sisa harta.
Perusahaan dapat memperkecil beban depresiasi untuk menaikkan laba periode berjalan dengan memperbesar nilai sisa harta.
4.
Menetapkan cadangan piutang tak tertagih.
Perusahaan dapat memperkecil biaya piutang tak tertagih untuk menaikkan laba periode berjalan dengan menetapkan cadangan piutang tak tertagih yang kecil.
5.
Menetapkan cadangan kewajiban jaminan garansi.
Dengan menetapkan kecil cadangan kewajiban jaminan garansi, perusahaan dapat memperkecil biaya jaminan garansi unntuk menaikkan laba periode berjalan.
6.
Menentukan adanya kerusakan harta.
Perusahaan dapat membebankan kerugian pada periode berjalan untuk menyimpan laba periode berjalan sebagai simpanan laba periode-periode mendatang atau menangguhkan beban periode sebelumnya.
7.
Mengestimasi tahap penyelesaian kontrak dengan metode persentase penyelesaian.
Dengan menetapkan persentase penyelesaian yang besar, perusahaan dapat mengakui pendapatan lebih besar untuk menaikkan laba periode berjalan.
8.
Mempertimbangkan jumlah persediaan yang dihapus.
Dengan menurunkan jumlah persediaan yang seharusnya dihapuskan, perusahaan dapat mengurangi beban tahun ini untuk menaikkan laba periode berjalan.
9.
Mengakui pendapatan atas pengiriman barang ke kantor perwakilan.
Dengan mengakui pendapatan atas pengiriman barang ke kantor perwakilan yang sebenarnya belum terjual, perusahaan mengakui pendapatan lebih besar untuk menaikkan laba periode berjalan.
10.
Tidak menutup periode akuntansi.
Dengan tetap membuka periode akuntansi, perusahaan masih tetap dapat mencatat penjualan periode berikutnya untuk menaikkan laba periode berjalan. Teknik ini biasanya dilakukan dengan memundurkan tanggal pada komputer.
11.
Mengakui seluruh penjualan yang pengirimannya tidak sekaligus.
Dengan mengakui penjualan barang yang belum dikirim, perusahaan mengakui pendapatan lebih besar untuk menaikkan laba periode berjalan.
12.
Menilai terlalu tinggi persediaan akhir.
Dengan menilai terlalu tinggi persediaan, perusahaan dapat mengurangi harga pokok penjualan untuk menaikkan laba periode berjalan.
13.
Memalsukan umur piutang.
Perusahaan dapat mengurangi beban piutang tak tertagih tahun ini untuk menaikkan laba periode berjalan.

Sebagian besar teknik manajemen laba dalam tabel di atas dapat digunakan dalam arah sebaliknya. Misalnya, perusahaan menangguhkan pembebanan kerugian atas kerusakan harta. Dengan menangguhkan pembebanan keugian atas kerusakan harta, perusahaan dapat meangguhkan kerugian pada periode ini dan dapat mempertahankan laba.
Klasifikasi Manajemen Laba
Secara garis besar, menurut Hery (2009), manajemen laba dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu operating manipulations dan accounting manipulations. Manipulasi operasi terkait dengan tindakan mengubah keputusan operasional yang memengaruhi aliran dana dan pendapatan bersih untuk satu periode. Contoh manipulasi operasi antara lain: memasukkan pengeluaran periode mendatang ke dalam periode ini karena laba periode ini telah mencapai target, menawarkan diskon penjualan yang menarik pada akhir tahun untuk menaikkan laba, dan mempercepat produksi barang dengan lembur agar dapat dikirim sebelum akhir tahun. Manipulasi akuntansi terkait dengan penggunaan fleksibilitas dalam metode akuntansi untuk mengubah besarnya laba. Contoh manipulasi akuntansi antara lain: tidak mencatat pembelian barang yang diterima akhir tahun sampai tahun depan, membayar di muka pengeluaran tahun depan dan mencatatnya sebagai pengeluaran tahun ini, dan meminta pemasok agar tidak mengirimkan tagihan akhir tahun sampai tahun depan.
Dumbi (2010) membagi rekayasa laba menjadi tiga kelompok. Pertama, dengan memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi, antara lain: estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap atau amortisasi aktiva tak berwujud, dan estimasi biaya garansi. Kedua, dengan mengubah metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi, seperti mengubah metode depresiasi aktiva tetap yaitu dari metode depresiasi angka tahun ke metode depresiasi garis lurus. Ketiga, dengan menggeser periode biaya atau pendapatan, misalnya dengan mempercepat atau menunda pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan sampai periode akuntansi berikutnya, mempercepat atau menunda pengeluaran promosi sampai periode akuntansi berikutnya, mempercepat atau menunda pengiriman produk ke pelanggan, menjual investasi sekuritas untuk memanipulasi tingkat laba, dan mengatur saat penjualan aktiva tetap yang sudah tidak dipakai.
Mulford dan Comiskey (2010) mengelompokkan manajemen laba juga menjadi dua kelompok, yaitu yang tidak melanggar atau masih dalam batas General Accepted Accounting Principles(GAAP) atau PABU, dan yang melanggar atau di luar batas GAAP. Teknik-teknik nomor 1 sampai dengan nomor 8 yang telah disebutkan di atas, menurut Mulford dan Comiskey (2010), masih dalam batas GAAP, sedangkan sisanya telah berada di luar batas GAAP, atau dengan kata lain melanggar GAAP.
Klasifikasi-klasifikasi di atas saling melengkapi satu sama lain. Satu teknik manajemen laba dapat masuk ke dalam kategori di luar batas GAAP sekaligus termasuk kategori menggeser periode biaya atau pendapatan dan kategori operating manipulations, misalnya tindakan mengakui pendapatan atas pengiriman barang ke kantor perwakilan yang sebenarnya belum terjual.
Praktik-praktik Manajemen Laba
Fenomena adanya praktik manajemen laba pernah terjadi di pasar modal Indonesia, khususnya pada emiten manufaktur di Bursa Efek Jakarta. Contoh kasus terjadi pada PT Kimia Farma Tbk. Berdasarkan hasil pemeriksaan Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal, 2002), diperoleh bukti bahwa terdapat kesalahan penyajian dalam laporan keuangan PT Kimia Farma Tbk., berupakesalahan dalam penilaian persediaan barang jadi dan kesalahan pencatatan penjualan, dimana dampak kesalahan tersebut mengakibatkan overstated laba pada laba bersih untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2001 sebesar Rp32,7 miliar.
Kasus yang sama juga pernah terjadi pada PT Indofarma Tbk. Berdasarkan hasil pemeriksaan Bapepam terhadap PT Indofarma Tbk. (Badan Pengawas Pasar Modal, 2004), ditemukan bukti bahwa nilai barang dalam proses diniliai lebih tinggi dari nilai yang seharusnya dalam penyajian nilai persediaan barang dalam proses pada tahun buku 2001 sebesar  Rp28,87 miliar. Akibatnya penyajian terlalu tinggi (overstated) persediaan sebesar Rp28,87 miliar, harga pokok penjualan disajikan terlalu rendah (understated) sebesar Rp28,8 miliar dan laba bersih disajikan terlalu tinggioverstated dengan nilai yang sama.
Praktik manajemen laba juga terjadi di luar negeri. AAER (Accounting and Auditing Enforcement Releases), suatu Divisi di The SEC (Security and Exchange Commision), pada tahun 2000 dalamMulford dan Comiskey (2010), menerbitkan laporan tentang beberapa kasus manajemen laba, antara lain sebagai berikut:
Tabel 2.2 Praktik-praktik Manajemen Laba
No.
Perusahaan
Manajemen Laba
1.
Intile Design, Inc.
AAER No. 1259, May 23, 2000.
menilai terlalu rendah persediaan akhir agar pajak properti mengecil.
2.
System Software Associates, Inc.
AAER No. 1285, July 14, 2000.
mengakui pendapatan atas pendapatan yang tidak jelas apakah produk yang dikirim telah diterima pelanggan atau belum.
3.
ABS Industries, Inc.
AAER No. 1240, Mar 23, 2000.
membukukan penjualan tanpa adanya pesanan dari pelanggan, bahkan pada beberapa kasus produk belum selesai dibuat.
4.
Sirena Apparel, Inc.
AAER No. 1673, Sept 27, 2000.
tidak menutup pembukuan di kuartal Maret 1999 agar target penjualan periode tersebut tercapai dengan cara mengubah tanggal pada computer agar tanggal palsu tercetak di faktur.
5.
Guilford Mills, Inc.
AAER No. 1287, Mar 23, 2000.
Melakukan pembukuan palsu ke Buku Besar Hofman Laces (anak perusahaan) yang mengurangi utang dagang dan harga pokok penjualan dengan jumlah yang sama sehingga menaikkan laba.

Penelitian-penelitian Tentang Manajemen Laba
Penelitian-penelitian di Indonesia menghasilkan kesimpulan yang mendukung adanya praktik-praktik manajemen laba. Widyaningdyah (2001) dalam penelitiannya berkesimpulan bahwa perusahaan yang terancam melanggar perjanjian utang cenderung melakukan  manajemen laba dengan menaikkan laba dalam rangka memperbaiki posisi tawarnya saat negosiasi ulang atau sebagai upaya melakukan go public untuk mendapatkan dana segar karena kesulitan mencari dana pinjaman. Sedangkan manajemen laba untuk perusahaan yang go public dilakukan pada prospektus laporan keuangan perusahaan sebelum IPO agar investor tertarik menanamkan modalnya.
Mawarti (2007) dalam penelitian dengan objek perusahaan manufaktur di Bursa Efek Jakarta (BEJ), menemukan 32 perusahaan yang dikategorikan melakukan income smoothing (perataan laba) dari 58 perusahaan populasi sasaran.
Dumbi (2010) dalam penelitiannya dengan objek BMUN manufaktur yang di Indonesia menemukan kecenderungan manajemen BUMN manufaktur untuk menurunkan laba pada saat terdapat surplus arus kas keluar mencerminkan keengganan manajer untuk memenuhi kewajibannya dalam membayar hutang dan membayarkan deviden kepada pemegang saham dalam hal ini pemerintah.
Mulford dan Comiskey (2010) dalam bukunya merangkum bukti dari studi deskriptif bahwa pada laporan keuangan perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat, penyajian laba berdasarkan keumumannya adalah sebagai berikut:
Tabel 2.3 Bukti Manajemen Laba dari Studi Deskriptif
Rugi rendah
Jarang
Laba rendah
Umum
Penurunan sedikit pada laba
Jarang
Kenaikan sedikit pada laba
Umum
Memenuhi atau melebihi sedikit angka prediksi
Banyak
Meleset dari angka prediksi
Jarang

Laba yang rendah seharusnya sama atau hampir sama kejadiannya dengan rugi rendah, begitu pula kenaikan sedikit pada laba dan penurunan sedikit pada laba. Tabel di atas menunjukkan tidak adanya distribusi normal atas laba sebagai dugaan kuat dilakukannya praktik-praktik manajemen laba laporan keuangan perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat.
Manajemen Laba, Baik atau Buruk?
Anggapan tentang baik atau buruknya manajemen laba masih menjadi perdebatan dan persoalan yang rumit. Menilai baik atau buruknya manajemen laba tergantung pada teknik yang digunakan dalam melakukan manajemen laba serta motivasi dan tujuan dilakukannya manajemen laba tersebut.
Mulford dan Comiskey (2010) mengatakan bahwa kalangan masyarakat akademisi, dengan asumsi bahwa laporan keuangan telah mengungkapkan seluruh manajemen laba yang dilakukan, menilai manajemen laba adalah baik atau tidak buruk. Sedangkan kalangan praktisi dan regulator meyakini bahwa manajemen laba akan menimbulkan persoalan yang dapat berdampak kemana-mana.
Seperti telah dijelaskan di muka, agar bermanfaat bagi para pemakai, maka kualitas laporan keuangan perlu dijaga. Dalam PSAK-Kerangka Dasar Penyusunan Penyajian Pelaporan Keuangan, telah disebutkan empat karakteristik kualitatif laporan keuangan yang berkualitas. Empat karakteristik kualitatif tersebut adalah dapat dipahami, relevan, andal, dan dapat diperbandingkan.
Lebih lanjut, dalam PSAK-Kerangka Dasar Penyusunan Penyajian Pelaporan Keuangan disebutkan bahwa informasi posisi keuangan dan kinerja di masa lalu seringkali digunakan sebagai dasar untuk memprediksi posisi keuangan dan kinerja masa. Informasi dikatakan relevan untuk memenuhi kebutuhan pemakai dalam proses pengambilan keputusan jika dapat memengaruhi keputusan ekonomi pemakai dengan membantu mereka mengevaluasi peristiwa masa lalu, masa kini atau masa depan, menegaskan, atau mengkoreksi hasil evaluasi mereka di masa lalu.
Informasi dikatakan andal jika bebas dari pengertian yang menyesatkan, kesalahan material, dan dapat diandalkan pemakainya sebagai penyajian yang jujur dan apa adanya. Informasi yang relevan tetapi  tidak dapat diandalkan berpotensi menyesatkan para pengguna informasi tersebut. Agar dapat diandalkan, informasi harus menggambarkan dengan jujur transaksi serta peristiwa lainnya yang seharusnya. Selain itu, informasi harus diarahkan pada kepentingan umum pemakai, dan tidak bergantung pada kepentingan pihak tertentu. Tidak boleh ada usaha untuk menyajikan informasi yang menguntungkan beberapa pihak dan merugikan pihak lain yang mempunyai kepentingan berlawanan.
Penyusun laporan keuangan terkadang menghadapi ketidakpastian peristiwa dan keadaan tertentu, seperti ketertagihan piutang yang diragukan, perkiraan masa manfaat aset, dan tuntutan atas jaminan garansi yang mungkin timbul. Ketidakpastian semacam itu diakui dengan mengungkapkan hakekat serta tingkatnya dan dengan menggunakan pertimbangan sehat dalam penyusunan laporan keuangan. Pertimbangan sehat mengandung unsur kehati-hatian pada saat melakukan prakiraan dalam kondisi ketidakpastian, sehingga aset atau penghasilan tidak dinyatakan terlalu tinggi dan kewajiban atau beban tidak dinyatakan terlalu rendah.
Agar dapat diandalkan, informasi dalam laporan keuangan harus lengkap dalam batasan materialitas dan biaya. Kesengajaan untuk tidak mengungkapkan mengakibatkan informasi menjadi tidak benar atau menyesatkan dan karena itu tidak dapat diandalkan dan tidak sempurna ditinjau dari segi relevansi.
Praktik-praktik manajemen laba dapat memengaruhi relevansi penyajian laporan keuangan sehingga laporan keuangan tidak membantu bahkan dapat menyesatkan para pemakainya dalam mengevaluasi peristiwa masa lalu, masa kini atau masa depan karena penyusun laporan keuangan, dalam hal ini manajer, tidak menggambarkan dengan jujur transaksi serta peristiwa lainnya.
Manajemen laba membuat laporan keuangan tidak dapat diandalkan, menyesatkan, mengandung kesalahan material, dan bukan merupakan penyajian yang jujur dan apa adanya. Selain itu, informasi yang disajikan pada laporan keuangan diarahkan pada kepentingan pihak tertentu yang menguntungkan beberapa pihak dan dapat merugikan pihak lain yang mempunyai kepentingan berlawanan.
Dalam menghadapi ketidakpastian peristiwa dan keadaan tertentu, penyusun laporan keuangan yang melakukan manajemen laba tidak menggunakan pertimbangan sehatnya dalam penyusunan laporan keuangan, tidak mengutamakan unsur kehati-hatian dalam melakukan pekiraan dalam kondisi ketidakpastian, melainkan bertindak berdasarkan pertimbangan kepentingannya, sehingga aset atau penghasilan dinyatakan terlalu tinggi dan kewajiban atau beban tidak dinyatakan rendah, atau sebaliknya.
Informasi dalam laporan keuangan yang telah terkontaminasi manajeman laba terkadang lengkap. Kesengajaan untuk tidak mengungkapkan secara lengkap mengakibatkan informasi menjadi tidak benar atau menyesatkan.
Source:
Anonimous. 2002. Annual Report 2002. Badan Pengawas Pasar Modal. Jakarta.
Anonimous. 2002. Pedoman Standar Akuntansi Keuangan. Ikatan Akuntan Indonesia. Jakarta.
Anonimous. 2004. Press Release, 8 November 2004. Badan Pengawas Pasar Modal. Jakarta.
Anonimous. 2008. Pedoman Penulisan Skripsi 2008. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia. Jakarta.
Anonimous. 2010. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Dumbi, Zolha. 2010. Pengaruh Arus Kas Bebas dan Financial Leverage terhadap Manajemen Laba. Universitas Padjadjaran. Bandung.
http://estehmanishangatnggakpakegula.blogspot.com/
Firdausi, Ari Fitria. 2010. Pengaruh Mekanisme Corperate Government terhadap Manajemen Laba. Universitas Muhammadiyah. Surakarta.
Gumanti, Tatang Ary. 2000. Earnings Management: Suatu Telaah Pustaka. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Vol. 2 No. 2, Nopember 2000: 104 – 115. Universitas Kristen Petra. Surabaya.
Halim, Julia, Carmel Meiden, dan Rudolf  Rumban Tobing. Pengaruh Manajemen Laba pada Tingkat Pengungkapan Laporan Keuangan pada Perusahaan Manufaktur yang Termasuk dalam Indeks LQ-45. SNA Solo 15 – 16 September 2005.Jaryanto. 2008. Manajemen Laba: Mengapa Banyak Mengundang Kontroversi. Fokus Ekonomi Vol. 3 No. 1 Juni 2008: 24 – 34.
Herawati, Nurul dan Zaki Baridwan. 2007. Manajemen Laba pada Perusahaan yang Melanggar Perjanjian Utang. Simposium Nasional Akuntansi (SNA) X Unhas Makassar 26 – 28 Juli 2007.
Hery. 2009. Teori Akuntansi. Kencana. Jakarta.
Kusuma, Hadri. 2006. Dampak Manajemen Laba terhadap Relevansi Informasi Akuntansi: Bukti Empiris dari Indonesia. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Vol. 8 No. 1, Mei 2006: 89 – 101. Universitas Kristen Petra. Surabaya.
Mawarti, Yuliana. 2007. Pengaruh Income Smoothing (Perataan Laba) terhadap Earning Respone (Reaksi Pasar) pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Universitas Negeri Semarang. Semarang.
Mulford, Charless W, dan Eugene E. Comiskey. Penerjemah Aurolla S. Harahap, dan Yudith D. Anggraeni. 2010. Deteksi Kecurangan Akuntansi, The Financial Numbers Game. Penerbit PPM. Jakarta.
Riahi, Ahmed dan Belkaoui. 2007. Accounting Theory, Teori Akuntansi, Buku Dua. Salemba Empat. Jakarta.
Sugiri, Slamet dan Syukry Abdullah. 2003. Pengaruh Free Cash Flow, Set Kesempatan Investasi, dan Leverage Finansial terhadap Manajemen Laba. Kajian Bisnis STIE Widya Wiwaha No. 28 Januari – April 2003. Yogyakarta.
Sutopo, Bambang. 2009. Manajemen Laba dan Manfaat Kualitas Laba dalam Keputusan Investasi. UPT Perpustakaan Universitas Negeri Sebelas Maret. Surakarta.
Widyaningdyah. 2001. Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Earnings Management pada Perusahaan Go Public di Indonesia. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Vol. 3 No. 2, Nopember 2001: 89 – 101. Universitas Kristen Petra. Surabaya.





1 komentar:

  1. Tiket Pesawat Murah Online, dapatkan segera di SELL TIKET Klik disini:
    selltiket.com
    Booking di SELLTIKET.COM aja!!!
    CEPAT,….TEPAT,….DAN HARGA TERJANGKAU!!!

    Ingin usaha menjadi agen tiket pesawat??
    Yang memiliki potensi penghasilan tanpa batas.
    Bergabung segera di agen.selltiket.com

    INFO LEBIH LANJUT HUBUNGI :
    No handphone :085365566333
    PIN : 5A298D36

    Segera Mendaftar Sebelum Terlambat. !!!a

    BalasHapus