TULISAN
MANAJEMEN LABA
Pengertian
Manajemen Laba
Para
pakar kurang seragam dalam mendefinisikan manajeman laba.
Mulford
dan Comiskey (2010) mendefinisikan manajemen laba sebagai manipulasi akuntansi
dengan tujuan menciptakan kinerja perusahaan agar terkesan lebih baik dari yang
sebenarnya.
Dechow
(1996) dalam Widyaningdyah (2001) mendefinisikan manajemen laba
sebagai manipulasi laba, baik di dalam maupun di luar batas prinsip-prinsip
akuntansi yang berterima umum (PABU).
Levitt
(1998) dalam Hery (2009) mengartikan manajemen laba sebagai trik akuntansi
dimana fleksibilitas aturan dalam penyusunan laporan keuangan dimanfaatkan oleh
manajer untuk memenuhi target laba.
Healy
(1999) dalam Hery (2009) menyebut manajemen laba sebagai kreativitas manajemen
dalam penyusunan laporan keuangan dan mengatur transaksi untuk mengubah laporan
keuangan dengan tujuan memberi kesan tertentu untuk memengaruhi tindakan para
pemakai laporan keuangan.
Scott
(2003) dalam Dumbi (2010) mendefinisikan manajemen laba sebagai pilihan yang
dilakukan oleh manajer dalam menentukan kebijakan akuntansi untuk mencapai
beberapa tujuan tertentu.
Riahi
dan Belkaoui(2007) mendefinisikan manajemen laba sebagai penggunaan
manajemen akrual dengan tujuan memeroleh keuntungan pribadi.
Dari
beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh para pakar tersebut saya mendefinisikan
ulang manajemen laba sebagai kegiatan manipulasi laba yang akan disajikan dalam
laporan keuangan yang dilakukan oleh manajer dengan tujuan tertentu dalam
batasan PABU maupun diluar batasan PABU.
Faktor-faktor
Penyebab Munculnya Manajemen Laba
Masalah
Keagenan
Jensen
dan Meckling (1976) dalam Dumbi (2010) mendefinisikan hubungan keagenan sebagai
suatu kontrak di mana satu orang atau lebih, yang kemudian disebut principal,
menyewa serta memberikan wewenang kepada satu orang yang lain atau lebih, yang
disebut kemudian agentuntuk menjalankan tugas dan mengambil
keputusan bagi kepentingan principal. Dalam hal ini, para pemegang
saham sebagai principal dan direksi atau manajer sebagai agent merupakan
salah satu hubungan keagenan.
Principal mengadakan kontrak dengan agent dalam
upaya memaksimumkan kesejahteraannya dengan harapan tingkat profitabilitas yang
selalu meningkat, sedangkan agent secara moral
bertanggungjawab memaksimumkan kesejahteraan principal. Namun
di sisi lain, agent melakukan kontrak dengan principal juga
dalam upaya memaksimumkan utilitasnya sendiri seperti memeroleh investasi,
pinjaman, kompensasi, bonus, dan fasilitas lainnya.
Perbedaan
kepentingan (conflict of interests) inilah yang kemudian
menjadi sebab manajer sebagaiagent mungkin tidak selalu melakukan
tindakan-tindakan untuk memaksimumkan kesejahteraanprincipal, dalam
hal ini pemegang saham, dan justru lebih mendahulukan kepentingannya untuk
memaksimumkan utilitasnya. Manajer terkadang juga lebih menginginkan untuk
memaksimumkan ukuran atau skala perusahaan daripada memaksimumkan kesejahteraan
pemegang saham.
Menurut
Scott (2009) dalam Dumbi (2010), terdapat dua jenis kontrak yang memiliki
dampak pada teori akuntansi keuangan. Selain kontrak kerja, ada pula kontrak
pinjaman/utang. Kontrak kerja dilakukan antara pemegang saham dengan manajer,
sedangkan kontrak pinjaman dilakukan antara manajer dengan pemberi pinjaman
atau kreditor. Salah satu pihak disebut principalsedangkan pihak
lainnya disebut agent. Dalam kontrak kerja, yang disebut
sebagai principal adalah pemegang saham sedangkan manajer
adalah agent. Sementara dalam kontrak pinjaman, pemberi
pinjaman adalah principal dan manajer adalah agent.
Kedua
jenis kontrak tersebut seringkali dipengaruhi oleh jumlah laba yang dilaporkan
perusahaan. Dalam kontrak kerja, bonus manajer sering didasarkan pada laba
bersih yang dilaporkan. Program bonus yang didasarkan pada laba bersih yang
dilaporkan, mungkin akan mendorong manajer untuk menerapkan kebijakan-kebijakan
dalam upaya memaksimumkan laba sekaligus bonus mereka. Kreditor mempunyai klaim
terhadap laba perusahaan untuk pembayaran bunga dan pokok pinjaman/utang,
mereka juga mempunyai klaim terhadap aset perusahaan apabila perusahaan
dibubarkan bersasarkan perjanjian utang. Manajer perusahaan yang terikat
perjanjian utang juga mungkin melakukan praktek manajemen laba untuk
menghindari pelanggaran perjanjian utang tersebut.
Asimetri
Informasi
Manajer
perusahaan merupakan pihak internal perusahaan yang jelas lebih banyak memiliki
dan lebih cepat mengetahui informasi yang valid dibandingkan pihak eksternal
perusahaan seperti investor dan kreditor. Hal ini disebabkan pihak eksternal
tidak mungkin mengawasi tindakan manajer setiap saat. Perbedaan jumlah dan
validitas informasi yang dimiliki pihak satu dengan pihak yang lain ini yang
dapat menyebabkan timbulnya asimetri informasi.
Kondisi
tersebut memberi peluang kepada manajer perusahaan untuk menggunakan informasi
yang diketahuinya dalam rangka mengatur atau merekayasa laba yang dilaporkan,
baik dalam upaya memaksimumkan kemakmuran maupun dalam upaya menyampaikan
sinyal mengenai prospek perusahaan kepada investor dan kreditor.
Manajer
sebagai pengelola perusahaan yang lebih banyak mengetahui informasi internal
dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan para pihak yang
berkepentingan lainnya berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi
perusahaan para pihak yang berkepentingan tersebut. Sinyal yang diberikan dapat
dilakukan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan.
Namun, informasi yang disampaikan terkadang diterima tidak sesuai dengan
kondisi perusahaan sebenarnya. Kondisi ini dikenal sebagai informasi yang tidak
simetris atau asimetri informasi. Asimetri informasi terjadi karena manajer
lebih superior dalam menguasai informasi dibanding pihak lain seperti pemilik
atau pemegang saham dan pemberi pinjaman.
Asimetri
informasi antara manajemen dengan pihak lain tersebut memberikan kesempatan
kepada manajer untuk bertindak oportunis, yaitu memperoleh keuntungan pribadi.
Dalam hal pelaporan keuangan, manajer dapat melakukan praktik manajemen laba (earnings
management) untuk memberikan sinyal yang diharapkan tetapi tidak sesuai
dengan kenyataan kepada pihak lain mengenai kinerja ekonomi perusahaan.
Dua
faktor tersebut, masalah keagenan dan asimetri informasi menjadi latar belakang
munculnya teori dan dugaan tentang adanya praktik-praktik manajemen laba.
Manajer sebagai pihak internal perusahaan memiliki kepentingan yang berbeda
dengan para pihak eksternal perusahaan seperti investor, kreditor, pemerintah,
maupun pihak eksternal lainnya. Di samping itu, manajer sebagai pihak internal
perusahaan memiliki lebih banyak informasi yang valid tentang perusahaan yang
mereka kelola daripada para pihak eksternal perusahaan. Dua kondisi ini sangat
mendukung dilakukannya praktik manajemen laba. Jika masalah keagenan dapat
memunculkan niat untuk melakukan manajemen laba, maka asimetri ekonomi dapat memberi
peluang atau kesempatan untuk dilakukannya manajemen laba. Manajer akan
menggunakan kelebihan informasi yang mereka miliki, misalnya dengan
menyembunyikan atau memanipulasi sebagian informasi tersebut dalam rangka
memenuhi kepentingan manajer yang mungkin suatu saat dalam suatu atau beberapa
hal akan saling bertentangan dengan kepentingan pihak eksternal yang memiliki
lebih sedikit informasi yang valid.
Motivasi-motivasi
dalam Manajemen Laba
Dua
kondisi yang dapat menjadi penyebab utama dilakukannya manajemen laba yang
telah diuraikan di atas memberikan peluang bagi manajer untuk memanipulasi
informasi keuangan, terutama apabila suatu saat ada kepentingan yang hendak dan
perlu dilindungi, baik untuk kepentingan pribadi manajer ataupun untuk
kepentingan keberlangsungan perusahaan.
Faktor-faktor
yang mendorong terjadinya manajemen laba tersebut telah banyak diuraikan oleh
para pakar dan telah banyak dilakukan penelitian empiris untuk mendukung adanya
korelasi antara faktor-faktor pendorong tersebut terhadap praktek manajemen
laba, baik di luar negeri maupun di Indonesia sendiri. Faktor-faktor pendorong
tersebut penulis seleksi, ringkas, dan gabungkan antara lain sebagai berikut:
Bonus
Pemberian
bonus seringkali dikaitkan dengan tingkat laba bersih yang dihasilkan pada
tahun yang bersangkutan. Manajer akan berusaha mengatur laba bersih sedemikian
rupa sehingga dapat memaksimalkan bonusnya. Manajer yang memiliki
informasi atas laba bersih perusahaan yang sebenarnya akan bertindak
oportunis untuk melakukan manajemen laba dengan memaksimalkan laba saat ini
ataupun menyimpannya untuk tahun-tahun yang akan datang.
Dalam
pemberian bonus berdasarkan atas laba ini, dikenal dua istilah, bogey (batas
bawah) yang terkadang juga disebut floor dan cap (batas
atas). Bogey adalah target laba minimum yang menjadi syarat
agar manajer dapat memeroleh bonus atas kinerjanya. Besarnya bonus yang
diperoleh tersebut akan meningkat secara proporsional seiring dengan
meningkatnya laba tahun yang bersangkutan, selama laba tersebut berada dalam
batasan atau di antara bogey dan cap.
Sedangkan cap adalah target laba maksimum dimana jika laba
tahun yang bersangkutan melebihi target laba ini, manajer tidak akan mendapat
tambahan bonus secara proporsional atas selisih laba dengan target laba ini.
Teori
dan hasil penelitian yang telah dilakukan menjelaskan bahwa para manajer akan
cenderung memaksimalkan bonusnya dengan memanipulasi data keuangan dalam rangka
meningkatkan laba, misalnya dengan memindahkan laba periode mendatang ke
periode saat ini, selama laba tersebut dalam batasan bogey dan cap. Jika
laba (sebelum direkayasa) berada di atas cap, maka manajer akan
cenderung menurunkan laba agar dapat menyimpannya dan menggunakannya untuk
memeroleh tambahan bonus pada tahun-tahun berikutnya. Jika laba (sebelum
direkayasa) berada di bawah bogey, maka ada dua kemungkinan
manipulasi yang dilakukan manajer. Pertama, saat laba (sebelum direkayasa)
berada tidak terlalu jauh di bawah bogey, maka manajer mungkin akan
meningkatkan laba untuk memeroleh bonus. Namun, jika laba (sebelum direkayasa)
berada terlalu jauh di bawah bogey, maka manajer akan cenderung
menurunkan laba agar dapat menyimpannya untuk memeroleh tambahan bonus pada
tahun-tahun berikutnya, selama laba yang dilaporkan masih positif. Jika laba
(sebelum direkayasa) berada di antara bogey dan cap, manajer
akan cenderung meningkatkan laba untuk mengoptimalkan bonus yang mereka terima.
Perjanjian
Utang
Janes
(2003) dalam Herawati (2007) menjelaskan perjanjian utang dapat dikelompokkan
ke dalam dua bentuk, sebagai perjanjian negatif dan perjanjian positif .
Perjanjian negatif umumnya menunjukkan aktivitas tertentu yang mengakibatkan
substitusi aset atau masalah pembayaran kembali. Contoh perjanjian utang
negatif adalah larangan terhadap merger, batasan peminjaman tambahan, dan
batasan pembayaran dividen. Perjanjian positif mensyaratkan peminjam melakukan
tindakan tertentu, seperti menjaminkan aset atau memenuhi target rasio-rasio
keuangan tertentu yang mengindikasikan kesehatan keuangan. Contoh umum
perjanjian utang positif adalah tingkat rasio current, leverage,
probabilitas dan net worth minimal atau maksimum. Perjanjian
utang baik bentuk negatif maupun positif tersebut dapat digunakan sebagai upaya
untuk membatasi konflik kepentingan yang potensial terjadi antara kreditor
dengan para pemegang saham maupun manajemen perusahaan.
Pelanggaran
atas perjanjian utang secara potensial menghadapi berbagai pinalti keuangan,
seperti kemungkinan percepatan jatuh tempo utang, peningkatan dalam tingkat
bunga, penyerahan jaminan, ataupun negosiasi ulang masa utang. Dalam rangka
menghindari risiko berbagai pinalti tersebut, manajer akan cenderung
menaikkan laba bersih untuk mengurangi kemungkinan perusahaan
mengalami pelanggaran atas perjanjian utang. Semakin dekat suatu
perusahaan ke pelanggaran hutang, manajemen akan cenderung memilih prosedur
akuntansi yang dapat memindahkan laba periode mendatang ke periode berjalan,
yang bertujuan untuk mengurangi kemungkinan perusahaan
mengalami pelanggaran atas perjanjian utang.
Biaya
Politis
Pemerintah
menetapkan besarnya pajak berdasarkan laba perusahaan secara progresif. Hal ini
menyebabkan pajak sebagai salah satu alasan perusahaan melakukan manajemen
laba, yaitu dengan menurunkan laba bersih yang dilaporkan untuk meminimalkan
pajak yang harus dibayarkan perusahaan kepada pemerintah.
Selain
motivasi pajak, motivasi politis lain mungkin menjadi sebab
perusahaan melakukan manajemen laba dengan menurunkan laba bersih yang
dilaporkan. Hal ini dilakukan sebagai upaya agar perusahaan tidak terlihat
mencolok bagi masyarakat ataupun pemerintah sebagai regulator sehingga
mendorong munculnya peraturan yang lebih ketat. Motivasi ini terutama
terjadi pada perusahaan-perusahaan besar pada industri strategis.
Penawaran
Saham Perdana (IPO) dan Penawaran Saham Musiman (SEO)
Pada penawaran
saham perdana dan penawaran saham musiman, laporan keuangan merupakan sumber
informasi utama yang penting bagi calon investor. Manajer perusahaan
yang go public akan cenderung melakukan manajemen laba untuk
memperoleh harga yang lebih tinggi atas saham perdananya dengan harapan
mendapatkan respons positif dari investor terhadap peramalan laba sebagai
sebuah sinyal dari nilai perusahaan, begitu pula dalam hal penawaran saham
musiman.
Harga
Saham
Sifat
dasar manusia adalah menyukai keuntungan dan menghindari risiko. Perusahaan
yang dipandang investor memiliki pendapatan yang tinggi cenderung akan
mengalami kenaikan pada harga sahamnya. Selain itu, investor juga akan memberi
harga yang lebih tinggi atas saham perusahaan yang labanya tidak terlalu
bergejolak yang menandakan kecilnya tingkat risiko. Bagi perusahaan, harga
saham yang tinggi dapat meningkatkan nilai pasarnya, sedangkan bagi manajer
yang memiliki saham perusahaan, harga saham yang tinggi akan meningkatkan
kekayaan pribadinya. Selain itu, untuk menghindari penurunan harga saham secara
tajam, laba mungkin akan disesuaikan menurut ramalan atau prediksi di pasar
modal. Hal-hal tersebut juga dapat menjadi motivasi yang mendorong manajer
melakukan manajemen laba.
Pergantian
CEO (Chief Executive Officer)
Banyak
motivasi yang muncul berkaitan dengan CEO. CEO yang mendekati masa pensiun akan
berusaha meningkatkan bonusnya dengan meningkatkan laba. CEO yang kurang
berhasil memperbaiki kinerjanya, berusaha menghindari pemecatannya dengan
meningkatkan laba. CEO baru untuk menunjukkan kesalahan dari CEO sebelumnya dan
membuka peluang agar laba periode mendatang meningkat, membebankan biaya
periode mendatang pada periode berjalan yang otomatis akan menurunkan laba
periode berjalan. Hal-hal tersebut pun dapat menjadi motivasi manajer untuk
melakukan praktik-praktik manajemen laba.
Pola-pola
Manajemen Laba
Scott
(2000) dalam Jaryanto (2008) membagi manajemen laba yang mungkin dilakukan oleh
para menejer perusahaan ke dalam empat jenis pola manajemen laba sebagai berikut:
Cuci
Bersih (Taking a Bath)
Pola
ini terjadinya pada periode sulit, kondisi
buruk yang tidak menguntungkan dan tidak dapat dihindari lagi pada periode
tersebut, ataupun pada saat terjadi reorganisasi, termasuk pengangkatan CEO
baru. Manajer melaporkan kerugian, mungkin dalam jumlah yang besar, sebagai
akibat dari penghapusan aktiva dan/atau pembebanan biaya-biaya masa depan
sekaligus pada periode tersebut dengan harapan laba pada periode-periode
mendatang dapat meningkat karena berkurangnya beban periode mendatang.
Menurunkan
Laba (Income Minimization)
Pola
ini dilakukan sebagai alasan politis pada periode laba yang tinggi dengan cara
seperti pada pola taking a bath, yaitu mempercepat penghapusan
atas barang modal dan aktiva tak berwujud, biaya iklan dan pengeluaran untuk
penelitian dan pengembangan, hasil akuntansi untuk biaya eksplorasi, dan
mengakui pengeluaran-pengeluaran lain sebagai biaya periode tersebut. Hal ini
dilakukan pada saat profitabilitas tinggi dengan maksud agar tidak mendapat
perhatian secara politis sekaligus sebagai upaya menyimpan laba sehingga jika
laba periode mendatang mengalami penurunan drastis dapat diatasi dengan
mengambil simpanan laba periode berjalan.
Menaikkan
Laba (Income Maximization)
Pola
ini dilakukan pada saat laba mengalami penurunan. Kebalikan dari income
minimization,income maximization dilakukan dengan cara mengambil
simpanan laba periode sebelumnya ataupun menarik laba periode yang akan datang,
misalnya dengan menunda pembebanan biaya. Pola ini dilakukan atas dasar
motivasi bonus, motivasi penghindaran pelanggaran perjanjian utang, pada saat
penawaran saham perdana dan musiman, ataupun untuk menghindari turunnya harga
saham secara drastis.
Perataan
Laba (Income Smoothing)
Income
smoothing dilakukan dengan
meratakan laba antar periode yang dilaporkan untuk tujuan pelaporan eksternal,
terutama bagi investor yang pada umumnya lebih menyukai laba yang relatif
stabil. Income smoothing bisa dikatakan pola perpaduan
antara income minimization denganincome maximization antar
periode, dimana pada periode laba yang tinggi, laba akan disimpan untuk
digunakan pada periode laba yang rendah.
Teknik-teknik
Manajemen Laba
Secara
sederhana, laba merupakan selisih lebih antara pendapatan (termasuk keuntungan)
dengan beban (termasuk kerugian). Maka, secara umum, teknik untuk merekayasa
laba dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu meningkatkan (atau menurunkan)
pendapatan maupun menurunkan (atau meningkatkan) beban, atau gabungan dari
keduanya.
Teknik-teknik
yang dapat dilakukan dalam manajemen laba seperti diuraikan Mulford dan
Comiskey (2010) antara lain sebagai berikut:
Tabel
2.1 Teknik-teknik Manajemen Laba
No.
|
Teknik
|
Tujuan
|
1.
|
Mengubah metode depresiasi.
|
Perusahaan dapat mengurangi beban
depresiasi untuk menaikkan laba periode berjalan, misalnya dengan mengubah
metode saldo menurun berganda ke metode garis lurus.
|
2.
|
Mengubah umur harta.
|
Perusahaan dapat memperkecil
beban depresiasi dan amortisasi untuk menaikkan laba periode berjalan dengan
memperpanjang umur harta.
|
3.
|
Mengubah nilai sisa harta.
|
Perusahaan dapat memperkecil
beban depresiasi untuk menaikkan laba periode berjalan dengan memperbesar
nilai sisa harta.
|
4.
|
Menetapkan cadangan piutang tak
tertagih.
|
Perusahaan dapat memperkecil
biaya piutang tak tertagih untuk menaikkan laba periode berjalan dengan
menetapkan cadangan piutang tak tertagih yang kecil.
|
5.
|
Menetapkan cadangan kewajiban
jaminan garansi.
|
Dengan menetapkan kecil cadangan kewajiban
jaminan garansi, perusahaan dapat memperkecil biaya jaminan garansi unntuk
menaikkan laba periode berjalan.
|
6.
|
Menentukan adanya kerusakan
harta.
|
Perusahaan dapat membebankan
kerugian pada periode berjalan untuk menyimpan laba periode berjalan sebagai
simpanan laba periode-periode mendatang atau menangguhkan beban periode
sebelumnya.
|
7.
|
Mengestimasi tahap penyelesaian
kontrak dengan metode persentase penyelesaian.
|
Dengan menetapkan persentase
penyelesaian yang besar, perusahaan dapat mengakui pendapatan lebih besar
untuk menaikkan laba periode berjalan.
|
8.
|
Mempertimbangkan jumlah
persediaan yang dihapus.
|
Dengan menurunkan jumlah
persediaan yang seharusnya dihapuskan, perusahaan dapat mengurangi beban
tahun ini untuk menaikkan laba periode berjalan.
|
9.
|
Mengakui pendapatan atas
pengiriman barang ke kantor perwakilan.
|
Dengan mengakui pendapatan atas
pengiriman barang ke kantor perwakilan yang sebenarnya belum terjual,
perusahaan mengakui pendapatan lebih besar untuk menaikkan laba periode berjalan.
|
10.
|
Tidak menutup periode akuntansi.
|
Dengan tetap membuka periode
akuntansi, perusahaan masih tetap dapat mencatat penjualan periode berikutnya
untuk menaikkan laba periode berjalan. Teknik ini biasanya dilakukan dengan
memundurkan tanggal pada komputer.
|
11.
|
Mengakui seluruh penjualan yang
pengirimannya tidak sekaligus.
|
Dengan mengakui penjualan barang
yang belum dikirim, perusahaan mengakui pendapatan lebih besar untuk
menaikkan laba periode berjalan.
|
12.
|
Menilai terlalu tinggi persediaan
akhir.
|
Dengan menilai terlalu tinggi
persediaan, perusahaan dapat mengurangi harga pokok penjualan untuk menaikkan
laba periode berjalan.
|
13.
|
Memalsukan umur piutang.
|
Perusahaan dapat mengurangi beban
piutang tak tertagih tahun ini untuk menaikkan laba periode berjalan.
|
Sebagian
besar teknik manajemen laba dalam tabel di atas dapat digunakan dalam arah
sebaliknya. Misalnya, perusahaan menangguhkan pembebanan kerugian atas
kerusakan harta. Dengan menangguhkan pembebanan keugian atas kerusakan harta,
perusahaan dapat meangguhkan kerugian pada periode ini dan dapat mempertahankan
laba.
Klasifikasi
Manajemen Laba
Secara
garis besar, menurut Hery (2009), manajemen laba dapat dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu operating manipulations dan accounting
manipulations. Manipulasi operasi terkait dengan tindakan mengubah
keputusan operasional yang memengaruhi aliran dana dan pendapatan bersih untuk
satu periode. Contoh manipulasi operasi antara lain: memasukkan pengeluaran
periode mendatang ke dalam periode ini karena laba periode ini telah mencapai
target, menawarkan diskon penjualan yang menarik pada akhir tahun untuk
menaikkan laba, dan mempercepat produksi barang dengan lembur agar dapat
dikirim sebelum akhir tahun. Manipulasi akuntansi terkait dengan penggunaan
fleksibilitas dalam metode akuntansi untuk mengubah besarnya laba. Contoh
manipulasi akuntansi antara lain: tidak mencatat pembelian barang yang diterima
akhir tahun sampai tahun depan, membayar di muka pengeluaran tahun depan dan
mencatatnya sebagai pengeluaran tahun ini, dan meminta pemasok agar tidak
mengirimkan tagihan akhir tahun sampai tahun depan.
Dumbi
(2010) membagi rekayasa laba menjadi tiga kelompok. Pertama, dengan
memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi, antara lain: estimasi tingkat
piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap atau
amortisasi aktiva tak berwujud, dan estimasi biaya garansi. Kedua, dengan
mengubah metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi,
seperti mengubah metode depresiasi aktiva tetap yaitu dari metode depresiasi
angka tahun ke metode depresiasi garis lurus. Ketiga, dengan menggeser periode
biaya atau pendapatan, misalnya dengan mempercepat atau menunda pengeluaran
untuk penelitian dan pengembangan sampai periode akuntansi berikutnya,
mempercepat atau menunda pengeluaran promosi sampai periode akuntansi
berikutnya, mempercepat atau menunda pengiriman produk ke pelanggan, menjual
investasi sekuritas untuk memanipulasi tingkat laba, dan mengatur saat
penjualan aktiva tetap yang sudah tidak dipakai.
Mulford
dan Comiskey (2010) mengelompokkan manajemen laba juga menjadi dua kelompok,
yaitu yang tidak melanggar atau masih dalam batas General Accepted
Accounting Principles(GAAP) atau PABU, dan yang melanggar atau di luar batas
GAAP. Teknik-teknik nomor 1 sampai dengan nomor 8 yang telah disebutkan di
atas, menurut Mulford dan Comiskey (2010), masih dalam batas GAAP, sedangkan
sisanya telah berada di luar batas GAAP, atau dengan kata lain melanggar GAAP.
Klasifikasi-klasifikasi
di atas saling melengkapi satu sama lain. Satu teknik manajemen laba dapat
masuk ke dalam kategori di luar batas GAAP sekaligus termasuk kategori
menggeser periode biaya atau pendapatan dan kategori operating
manipulations, misalnya tindakan mengakui pendapatan atas pengiriman barang
ke kantor perwakilan yang sebenarnya belum terjual.
Praktik-praktik
Manajemen Laba
Fenomena
adanya praktik manajemen laba pernah terjadi di pasar modal Indonesia,
khususnya pada emiten manufaktur di Bursa Efek Jakarta. Contoh kasus terjadi
pada PT Kimia Farma Tbk. Berdasarkan hasil pemeriksaan Bapepam (Badan Pengawas
Pasar Modal, 2002), diperoleh bukti bahwa terdapat kesalahan penyajian dalam
laporan keuangan PT Kimia Farma Tbk., berupakesalahan dalam penilaian
persediaan barang jadi dan kesalahan pencatatan penjualan, dimana dampak
kesalahan tersebut mengakibatkan overstated laba pada laba
bersih untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2001 sebesar Rp32,7 miliar.
Kasus
yang sama juga pernah terjadi pada PT Indofarma Tbk. Berdasarkan hasil
pemeriksaan Bapepam terhadap PT Indofarma Tbk. (Badan Pengawas Pasar Modal,
2004), ditemukan bukti bahwa nilai barang dalam proses diniliai lebih tinggi
dari nilai yang seharusnya dalam penyajian nilai persediaan barang dalam proses
pada tahun buku 2001 sebesar Rp28,87 miliar. Akibatnya penyajian terlalu
tinggi (overstated) persediaan sebesar Rp28,87 miliar, harga pokok
penjualan disajikan terlalu rendah (understated) sebesar
Rp28,8 miliar dan laba bersih disajikan terlalu tinggioverstated dengan
nilai yang sama.
Praktik
manajemen laba juga terjadi di luar negeri. AAER (Accounting and Auditing
Enforcement Releases), suatu Divisi di The SEC (Security and Exchange
Commision), pada tahun 2000 dalamMulford dan Comiskey (2010), menerbitkan
laporan tentang beberapa kasus manajemen laba, antara lain sebagai berikut:
Tabel
2.2 Praktik-praktik Manajemen Laba
No.
|
Perusahaan
|
Manajemen Laba
|
1.
|
Intile Design, Inc.
AAER No. 1259, May 23, 2000.
|
menilai terlalu rendah persediaan
akhir agar pajak properti mengecil.
|
2.
|
System Software Associates, Inc.
AAER No. 1285, July 14, 2000.
|
mengakui pendapatan atas
pendapatan yang tidak jelas apakah produk yang dikirim telah diterima
pelanggan atau belum.
|
3.
|
ABS Industries, Inc.
AAER No. 1240, Mar 23, 2000.
|
membukukan penjualan tanpa adanya
pesanan dari pelanggan, bahkan pada beberapa kasus produk belum selesai
dibuat.
|
4.
|
Sirena Apparel, Inc.
AAER No. 1673, Sept 27, 2000.
|
tidak menutup pembukuan di
kuartal Maret 1999 agar target penjualan periode tersebut tercapai dengan
cara mengubah tanggal pada computer agar tanggal palsu tercetak di faktur.
|
5.
|
Guilford Mills, Inc.
AAER No. 1287, Mar 23, 2000.
|
Melakukan pembukuan palsu ke Buku
Besar Hofman Laces (anak perusahaan) yang mengurangi utang dagang dan harga
pokok penjualan dengan jumlah yang sama sehingga menaikkan laba.
|
Penelitian-penelitian
Tentang Manajemen Laba
Penelitian-penelitian
di Indonesia menghasilkan kesimpulan yang mendukung adanya praktik-praktik
manajemen laba. Widyaningdyah (2001) dalam penelitiannya berkesimpulan bahwa
perusahaan yang terancam melanggar perjanjian utang cenderung melakukan
manajemen laba dengan menaikkan laba dalam rangka memperbaiki posisi
tawarnya saat negosiasi ulang atau sebagai upaya melakukan go
public untuk mendapatkan dana segar karena kesulitan mencari dana
pinjaman. Sedangkan manajemen laba untuk perusahaan yang go
public dilakukan pada prospektus laporan keuangan perusahaan
sebelum IPO agar investor tertarik menanamkan modalnya.
Mawarti
(2007) dalam penelitian dengan objek perusahaan manufaktur di Bursa Efek
Jakarta (BEJ), menemukan 32 perusahaan yang dikategorikan melakukan income
smoothing (perataan laba) dari 58 perusahaan populasi sasaran.
Dumbi
(2010) dalam penelitiannya dengan objek BMUN manufaktur yang di Indonesia menemukan
kecenderungan manajemen BUMN manufaktur untuk menurunkan laba pada saat
terdapat surplus arus kas keluar mencerminkan keengganan manajer untuk memenuhi
kewajibannya dalam membayar hutang dan membayarkan deviden kepada pemegang
saham dalam hal ini pemerintah.
Mulford
dan Comiskey (2010) dalam bukunya merangkum bukti dari studi deskriptif bahwa
pada laporan keuangan perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat, penyajian laba
berdasarkan keumumannya adalah sebagai berikut:
Tabel
2.3 Bukti Manajemen Laba dari Studi Deskriptif
Rugi rendah
|
Jarang
|
Laba rendah
|
Umum
|
Penurunan sedikit pada laba
|
Jarang
|
Kenaikan sedikit pada laba
|
Umum
|
Memenuhi atau melebihi sedikit
angka prediksi
|
Banyak
|
Meleset dari angka prediksi
|
Jarang
|
Laba
yang rendah seharusnya sama atau hampir sama kejadiannya dengan rugi rendah,
begitu pula kenaikan sedikit pada laba dan penurunan sedikit pada
laba. Tabel di atas menunjukkan tidak adanya distribusi normal atas laba
sebagai dugaan kuat dilakukannya praktik-praktik manajemen laba laporan keuangan
perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat.
Manajemen
Laba, Baik atau Buruk?
Anggapan
tentang baik atau buruknya manajemen laba masih menjadi perdebatan dan
persoalan yang rumit. Menilai baik atau buruknya manajemen laba tergantung pada
teknik yang digunakan dalam melakukan manajemen laba serta motivasi dan tujuan
dilakukannya manajemen laba tersebut.
Mulford
dan Comiskey (2010) mengatakan bahwa kalangan masyarakat akademisi, dengan
asumsi bahwa laporan keuangan telah mengungkapkan seluruh manajemen laba yang
dilakukan, menilai manajemen laba adalah baik atau tidak buruk. Sedangkan
kalangan praktisi dan regulator meyakini bahwa manajemen laba akan menimbulkan
persoalan yang dapat berdampak kemana-mana.
Seperti
telah dijelaskan di muka, agar bermanfaat bagi para pemakai, maka kualitas
laporan keuangan perlu dijaga. Dalam PSAK-Kerangka Dasar Penyusunan Penyajian
Pelaporan Keuangan, telah disebutkan empat karakteristik kualitatif laporan
keuangan yang berkualitas. Empat karakteristik kualitatif tersebut adalah dapat
dipahami, relevan, andal, dan dapat diperbandingkan.
Lebih
lanjut, dalam PSAK-Kerangka Dasar Penyusunan Penyajian Pelaporan Keuangan
disebutkan bahwa informasi posisi keuangan dan kinerja di masa lalu seringkali
digunakan sebagai dasar untuk memprediksi posisi keuangan dan kinerja masa.
Informasi dikatakan relevan untuk memenuhi kebutuhan pemakai dalam proses
pengambilan keputusan jika dapat memengaruhi keputusan ekonomi pemakai dengan
membantu mereka mengevaluasi peristiwa masa lalu, masa kini atau masa depan,
menegaskan, atau mengkoreksi hasil evaluasi mereka di masa lalu.
Informasi
dikatakan andal jika bebas dari pengertian yang menyesatkan, kesalahan
material, dan dapat diandalkan pemakainya sebagai penyajian yang jujur dan apa
adanya. Informasi yang relevan tetapi tidak dapat diandalkan berpotensi
menyesatkan para pengguna informasi tersebut. Agar dapat diandalkan, informasi
harus menggambarkan dengan jujur transaksi serta peristiwa lainnya yang
seharusnya. Selain itu, informasi harus diarahkan pada kepentingan umum
pemakai, dan tidak bergantung pada kepentingan pihak tertentu. Tidak boleh ada
usaha untuk menyajikan informasi yang menguntungkan beberapa pihak dan
merugikan pihak lain yang mempunyai kepentingan berlawanan.
Penyusun
laporan keuangan terkadang menghadapi ketidakpastian peristiwa dan keadaan
tertentu, seperti ketertagihan piutang yang diragukan, perkiraan masa manfaat
aset, dan tuntutan atas jaminan garansi yang mungkin timbul. Ketidakpastian
semacam itu diakui dengan mengungkapkan hakekat serta tingkatnya dan dengan
menggunakan pertimbangan sehat dalam penyusunan laporan keuangan. Pertimbangan
sehat mengandung unsur kehati-hatian pada saat melakukan prakiraan dalam
kondisi ketidakpastian, sehingga aset atau penghasilan tidak dinyatakan terlalu
tinggi dan kewajiban atau beban tidak dinyatakan terlalu rendah.
Agar
dapat diandalkan, informasi dalam laporan keuangan harus lengkap dalam batasan
materialitas dan biaya. Kesengajaan untuk tidak mengungkapkan mengakibatkan
informasi menjadi tidak benar atau menyesatkan dan karena itu tidak dapat
diandalkan dan tidak sempurna ditinjau dari segi relevansi.
Praktik-praktik
manajemen laba dapat memengaruhi relevansi penyajian laporan keuangan sehingga
laporan keuangan tidak membantu bahkan dapat menyesatkan para pemakainya dalam
mengevaluasi peristiwa masa lalu, masa kini atau masa depan karena penyusun
laporan keuangan, dalam hal ini manajer, tidak menggambarkan dengan jujur
transaksi serta peristiwa lainnya.
Manajemen
laba membuat laporan keuangan tidak dapat diandalkan, menyesatkan, mengandung
kesalahan material, dan bukan merupakan penyajian yang jujur dan apa adanya.
Selain itu, informasi yang disajikan pada laporan keuangan diarahkan pada
kepentingan pihak tertentu yang menguntungkan beberapa pihak dan dapat
merugikan pihak lain yang mempunyai kepentingan berlawanan.
Dalam
menghadapi ketidakpastian peristiwa dan keadaan tertentu, penyusun laporan
keuangan yang melakukan manajemen laba tidak menggunakan pertimbangan sehatnya
dalam penyusunan laporan keuangan, tidak mengutamakan unsur kehati-hatian dalam
melakukan pekiraan dalam kondisi ketidakpastian, melainkan bertindak
berdasarkan pertimbangan kepentingannya, sehingga aset atau penghasilan
dinyatakan terlalu tinggi dan kewajiban atau beban tidak dinyatakan rendah,
atau sebaliknya.
Informasi
dalam laporan keuangan yang telah terkontaminasi manajeman laba terkadang
lengkap. Kesengajaan untuk tidak mengungkapkan secara lengkap mengakibatkan
informasi menjadi tidak benar atau menyesatkan.
Source:
Anonimous.
2002. Annual Report 2002. Badan Pengawas Pasar Modal. Jakarta.
Anonimous.
2002. Pedoman Standar Akuntansi Keuangan. Ikatan Akuntan Indonesia.
Jakarta.
Anonimous.
2004. Press Release, 8 November 2004. Badan
Pengawas Pasar Modal. Jakarta.
Anonimous.
2008. Pedoman Penulisan Skripsi 2008. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi
Indonesia. Jakarta.
Anonimous.
2010. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional.
Dumbi,
Zolha. 2010. Pengaruh Arus Kas Bebas dan Financial Leverage terhadap
Manajemen Laba. Universitas Padjadjaran. Bandung.
http://estehmanishangatnggakpakegula.blogspot.com/
Firdausi,
Ari Fitria. 2010. Pengaruh Mekanisme Corperate Government terhadap
Manajemen Laba. Universitas Muhammadiyah. Surakarta.
Gumanti,
Tatang Ary. 2000. Earnings Management: Suatu Telaah Pustaka. Jurnal
Akuntansi dan Keuangan Vol. 2 No. 2, Nopember 2000: 104 – 115. Universitas
Kristen Petra. Surabaya.
Halim,
Julia, Carmel Meiden, dan Rudolf Rumban Tobing. Pengaruh
Manajemen Laba pada Tingkat Pengungkapan Laporan Keuangan pada Perusahaan
Manufaktur yang Termasuk dalam Indeks LQ-45. SNA Solo 15 – 16 September
2005.Jaryanto. 2008. Manajemen Laba: Mengapa Banyak Mengundang
Kontroversi. Fokus Ekonomi Vol. 3 No. 1 Juni 2008: 24 – 34.
Herawati,
Nurul dan Zaki Baridwan. 2007. Manajemen Laba pada Perusahaan yang
Melanggar Perjanjian Utang. Simposium Nasional Akuntansi (SNA) X Unhas
Makassar 26 – 28 Juli 2007.
Hery.
2009. Teori Akuntansi. Kencana. Jakarta.
Kusuma,
Hadri. 2006. Dampak Manajemen Laba terhadap Relevansi Informasi
Akuntansi: Bukti Empiris dari Indonesia. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Vol.
8 No. 1, Mei 2006: 89 – 101. Universitas Kristen Petra. Surabaya.
Mawarti,
Yuliana. 2007. Pengaruh Income Smoothing (Perataan Laba) terhadap
Earning Respone (Reaksi Pasar) pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Jakarta
(BEJ). Universitas Negeri Semarang. Semarang.
Mulford,
Charless W, dan Eugene E. Comiskey. Penerjemah Aurolla S. Harahap, dan Yudith
D. Anggraeni. 2010. Deteksi Kecurangan Akuntansi, The Financial Numbers
Game. Penerbit PPM. Jakarta.
Riahi,
Ahmed dan Belkaoui. 2007. Accounting Theory, Teori Akuntansi, Buku Dua. Salemba
Empat. Jakarta.
Sugiri,
Slamet dan Syukry Abdullah. 2003. Pengaruh Free Cash Flow, Set
Kesempatan Investasi, dan Leverage Finansial terhadap Manajemen Laba. Kajian
Bisnis STIE Widya Wiwaha No. 28 Januari – April 2003. Yogyakarta.
Sutopo,
Bambang. 2009. Manajemen Laba dan Manfaat Kualitas Laba dalam Keputusan
Investasi. UPT Perpustakaan Universitas Negeri Sebelas Maret. Surakarta.
Widyaningdyah.
2001. Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Earnings
Management pada Perusahaan Go Public di Indonesia. Jurnal Akuntansi
dan Keuangan Vol. 3 No. 2, Nopember 2001: 89 – 101. Universitas Kristen Petra.
Surabaya.
Tiket Pesawat Murah Online, dapatkan segera di SELL TIKET Klik disini:
BalasHapusselltiket.com
Booking di SELLTIKET.COM aja!!!
CEPAT,….TEPAT,….DAN HARGA TERJANGKAU!!!
Ingin usaha menjadi agen tiket pesawat??
Yang memiliki potensi penghasilan tanpa batas.
Bergabung segera di agen.selltiket.com
INFO LEBIH LANJUT HUBUNGI :
No handphone :085365566333
PIN : 5A298D36
Segera Mendaftar Sebelum Terlambat. !!!a